Senin, 05 Juli 2010
explore pendulangan intan
Intan di Martapura sebenarnya datang dari Cempaka. Sekitar setengah jam dari Martapura. Cempaka termasuk salahsatu kecamatan dari kabupaten Banjarbaru. Saya mencoba melihat secara dekat pendulangan intan ini. Ada yang menggunakan mesin penyedot, mesin penyemprot air - menghancurkan tanah dan bebatuan – hingga pendulangan tradisional. Hanya dibantu dengan alat berupa linggis dan ember.
Banyak tanah yang menganga. Sisanya menyerupai danau. Air keruh berwarna coklat. Bunyi mesin penyedot dan penyemprot air menderu. Pendulang mengayak tanah. Memperbaiki saluran air. Mewaspadai agar tanah di atasnya tak roboh. Dan mengubur hidup mereka seperti Juli silam. Dua orang pendulang mati.
Awan gelap menggelayut di atas langit. Petir menerjang bumi. Rintik hujan turun. Para pendulang bertahan. Dan tak sembunyi dari hujan. Angin kencang segera mengusir hujan. Pendulang terus bekerja hingga sore hari.
Di antara mesin penyedot air yang menjerit, pendulang perempuan terus mengumpulkan lumpur dari sebuah sumur. Bentuknya bujur sangkar. Luasnya sekitar dua meter persegi. Batang kayu menahan agar dinding sumur tak ambruk. Dalam dinding terdapat tangga. Kedalaman sumur ini sekitar enam meter.
Perempuan ini berdiri di setiap tangga yang licin itu. Membantu menarik ember. Isinya air kecoklatan dan lumpur. Cipratan dari ember membuat wajah dan badannya penuh lumpur. Sesekali mereka membasuh wajahnya agar bersih dari lumpur itu. Seorang perempuan, usianya sekitar 40 tahun lebih, bertelanjang kaki tetap memoles bibirnya agar terlihat cantik. Warna merah melapisi bibirnya.
“Tergantung dari lumpur itu. Nanti kami cari,” kata Mohammad Ali, 61 tahun. Ia memimpin pendulangan intan. Perempuan-perempuan itu adalah pekerjanya. Ia membakar beberapa rokok kretek. Menyelipkan pada jepitan kayu. Dan kemudian mengirimkannya ke dalam sumur yang gelap dan dingin itu.
Ali seorang pendulang. 40 tahun hidupnya melakukan penambangan. Di Papua ia mencari emas. Begitu juga di Timor-timur, Poso hingga Cikotok di Jawa Barat – Kini Provinsi Banten - .
Di usianya yang menjelang sepuh, ia menghabiskan waktunya mendulang di tempat kelahirannya sendiri. Dengan ratusan pendulang lainnya. Baik yang mendulang menggunakan bantuan mesin maupun tradisional seperti dirinya.
“Saya tidak mau seperti mereka. Menambang menggunakan mesin. Bahaya sekali. Kalau tanahnya rontok pasti ada yang meninggal,” katanya. Telunjuk jarinya menunjuk pada beberapa kelompok pendulang yang bekerja di bawah tebing tanah. Saluran pipa air tampak seperti akar-akar pohon yang menjuntai. Matanya tajam. Sesekali tersenyum.
Ia merasa pendulangan secara tradisional cukup aman. Tak banyak kecelakaan yang terjadi. Padahal pendulang dengan tehnik ini mengharuskan mereka seperti seekor tikus tanah. Membuat lubang secara vertikal dan kemudian menggali tanah secara horisontal. Mengikuti nalurinya dan berharap segera menemukan sebuah keajaiban. Sebilah linggis memahat tanah dan bebatuan. Hingga menemukan sebuah batu yang bernama intan.
Tapi lima bulan lewat pendulangan belum membuahkan hasil. Ali dan pekerjanya tak menyerah. Walau tiap harinya ia mengeluarkan uang sebesar 120 ribu rupiah untuk membiayai pendulangan. Makan, minum, kopi dan rokok. Ia menjual barang apa yang sudah dimilikinya. Meminjam uang dari saudaranya.
Di tanah yang sama ia memiliki kejayaan. Ia menemukan intan. Nilai taksirannya 50 hingga 150 juta rupiah. Pekerjanya bisa mengantongi uang hingga 4,5 juta rupiah. Dan sisanya untuk membayar upah pada pemilik tanah. Menutupi hutang selama proses pendulangan.
“Penghasilan tidak bisa diprediksi. Ini benda awam,” katanya. Seperti hendak memompa semangatnya agar tidak luntur oleh waktu. Namun, kesulitan hidup membuat salahsatu pekerjanya juga terjerat hutang. Tapi dia enggan menjelaskannya. Khosiah, perempuan itu, hanya menjelaskan pekerjaan sebagai pendulang tidak ada pilihan. 20 tahun ia menjalani sebagai pendulang. Suaminya menjual intan dan batu akik ke pasar di Martapura.
Tak jarang ia juga turun untuk menggali tanah. Mesin kipas angin berukuran kecil tak cukup untuk memompa oksigen ke dalam sumur. Ia mesti segera naik dan menghirup udara segar. Tenaga kipas angin ini berasal dari sebuah accu kering. Dan terhubung melalui pipa berwarna putih. “Sesak nafas,” katanya.
“Anak saya juga menjadi pendulang. Tidak sekolah lagi. Kalau dapat intan, ya ada modal,” kata Ali. Ia memiliki anak sebanyak 10 orang. Ia juga tak mengerti mengapa pemerintah menerapkan biaya sekolah begitu tinggi. Dan menyebabkan anaknya tidak bisa melanjutkan sekolah.
Pendulang ini bekerja dalam ketidakpastian. Mereka berharap dari peluh keringatnya segera menemukan keajaiban itu. Sebutir intan yang bisa memberikan senyuman dan kebahagiaan. Untuk melunasi hutang piutang dan mengembalikan barang yang hilang. Bagi pendulang, setiap jengkal penggalian adalah sebuah mimpi. Mimpi untuk melanjutkan hidup pada hari esok. Seperti si pemasang iklan itu yang hendak menjual intan warisan nenek moyangnya. Untuk membeli sebuah mimpi baru
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar