Senin, 05 Juli 2010

Mengenal Adat Rumah Banjar




Rumah Banjar adalah rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional ciri-cirinya antara lain mempunyai perlambang, mempunyai penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan simetris.
Rumah tradisonal Banjar adalah type-type rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Pada tahun 1871 pemerintah kota Banjarmasin mengeluarkan segel izin pembuatan Rumah Bubungan Tinggi di kampung Sungai Jingah yang merupakan rumah tertua yang pernah dikeluarkan segelnya. Umumnya rumah tradisional Banjar dibangun dengan ber-anjung (ba-anjung) yaitu sayap bangunan yang menjorok dari samping kanan dan kiri bangunan utama karena itu disebut Rumah Baanjung. Anjung merupakan ciri khas rumah tradisional Banjar, walaupun ada pula beberapa type Rumah Banjar yang tidak ber-anjung. Tipe rumah yang paling bernilai tinggi adalah Rumah Bubungan Tinggi yang biasanya dipakai untuk bangunan keraton (Dalam Sultan). Jadi nilainya sama dengan rumah joglo di Jawa yang dipakai sebagai keraton. Keagungan seorang penguasa pada masa pemerintahan kerajaan diukur oleh kuantitas ukuran dan kualitas seni serta kemegahan bangunan-bangunan kerajaan khususnya istana raja (Rumah Bubungan Tinggi). Dalam suatu perkampungan suku Banjar terdiri dari bermacam-macam jenis rumah Banjar yang mencerminkan status sosial maupun status ekonomi sang pemilik rumah. Dalam kampung tersebut rumah dibangun dengan pola linier mengikuti arah aliran sungai maupun jalan raya terdiri dari rumah yang dibangun mengapung di atas air, rumah yang didirikan di atas sungai maupun rumah yang didirikan di daratan, baik pada lahan basah (alluvial) maupun lahan kering.


Filosofi Rumah Adat Banjar
Pemisahan jenis dan bentuk rumah Banjar sesuai dengan filsafat dan religi yang bersumber pada kepercayaan Kaharingan pada suku Dayak bahwa alam semesta yang terbagi menjadi 2 bagian, yaitu alam atas dan alam bawah.Rumah Bubungan Tinggi merupakan lambang mikrokosmos dalam makrokosmos yang besar.Penghuni seakan-akan tinggal di bagian dunia tengah yang diapit oleh dunia atas dan dunia bawah. Di rumah mereka hidup dalam keluarga besar, sedang kesatuan dari dunia atas dan dunia bawah melambangkan Mahatala dan Jata (suami dan isteri).rumah Bubungan Tinggi melambangkan berpadunya Dunia Atas dan Dunia Bawah

Dwitunggal Semesta
Pada peradaban agraris, rumah dianggap keramat karena dianggap sebagai tempat bersemayam secara ghaib oleh para dewata seperti pada rumah Balai suku Dayak Bukit yang berfungsi sebagai rumah ritual. Pada masa Kerajaan Negara Dipa sosok nenek moyang diwujudkan dalam bentuk patung pria dan wanita yang disembah dan ditempatkan dalam istana. Pemujaan arwah nenek moyang yang berwujud pemujaan Maharaja Suryanata dan Puteri Junjung Buih merupakan simbol perkawinan (persatuan) alam atas dan alam bawah Kosmogoni Kaharingan-Hindu. Suryanata sebagai manifestasi dewa Matahari (Surya) dari unsur kepercayaan Kaharingan-Hindu, matahari yang menjadi orientasi karena terbit dari ufuk timur (orient) selalu dinantikan kehadirannya sebagai sumber kehidupan, sedangkan Puteri Junjung Buih berupa lambang air, sekaligus lambang kesuburan tanah berfungsi sebagai Dewi Sri di Jawa. Pada masa tumbuhnya kerajaan Hindu, istana raja merupakan citra kekuasaan bahkan dianggap ungkapan berkat dewata sebagai pengejawantahan lambang Kosmos Makro ke dalam Kosmos Mikro. Puteri Junjung Buih sebagai perlambang "dunia Bawah" sedangkan Pangeran Suryanata perlambang "dunia atas". Pada arsitektur Rumah Bubungan Tinggi pengaruh unsur-unsur tersebut masih dapat ditemukan. Bentuk ukiran naga yang tersamar/didestilir (bananagaan) melambangkan "alam bawah" sedangkan ukiran burung enggang melambangkan "alam atas".

Pohon Hayat
Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi dengan atapnya yang menjulang ke atas merupakan citra dasar dari sebuah "pohon hayat" yang merupakan lambang kosmis. Pohon Hayat merupakan pencerminan dimensi-dimensi dari satu kesatuan semesta. Ukiran tumbuh-tumbuhan yang subur pada Tawing Halat (Seketeng) merupakan perwujudan filosofi "pohon kehidupan" yang oleh orang Dayak disebut Batang Garing dalam kepercayaan Kaharingan yang pernah dahulu berkembang dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan pada periode sebelumnya

Payung
Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi dengan atapnya yang menjulang ke atas merupakan sebuah citra dasar sebuah payung yang menunjukkan suatu orientasi kekuasaan ke atas. Payung juga menjadi perlambang kebangsawanan yang biasa menggunakan "payung kuning" sebagai perangkat kerajaan. Payung kuning sebagai tanda-tanda kemartabatan kerajaan Banjar diberikan kepada para pejabat kerajaan di suatu daerah.

Simetris
Wujud bentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi yang simetris, terlihat pada bentuk sayap bangunan atau anjung yang terdiri atas Anjung Kanan dan Anjung Kiwa. Hal ini berkaitan dengan filosofi simetris (seimbang) dalam pemerintahan Kerajaan Banjar, yang membagi kementerian, menjadi Mantri Panganan (Kelompok Menteri Kanan) dan Mantri Pangiwa (Kelompok Menteri Kiri), masing-masing terdiri atas 4 menteri, Mantri Panganan bergelar 'Patih' dan Mantri Pangiwa bergelar 'Sang', tiap-tiang menteri memiliki pasukan masing-masing. KOnsep simetris ini tercermin pada rumah bubungan tinggi.

Kepala-Badan-Kaki

Bentuk rumah Bubungan Tinggi diibaratkan tubuh manusia terbagi menjadi 3 bagian secara vertikal yaitu kepala, badan dan kaki. Sedangkan anjung diibaratkan sebagai tangan kanan dan tangan kiri yaitu anjung kanan dan anjung kiwa (kiri)

Tata Nilai Ruang
Pada rumah Banjar Bubungan Tinggi (istana) terdapat ruang Semi Publik yaitu Serambi atau surambi yang berjenjang letaknya secara kronologis terdiri dari surambi muka, surambi sambutan, dan terakhir surambi Pamedangan sebelum memasuki pintu utama (Lawang Hadapan) pada dinding depan (Tawing Hadapan ) yang diukir dengan indah. Setelah memasuki Pintu utama akan memasuki ruang Semi Private. Pengunjung kembali menapaki lantai yang berjenjang terdiri dari Panampik Kacil di bawah, Panampik Tangah di tengah dan Panampik Basar di atas pada depan Tawing Halat atau "dinding tengah" yang menunjukkan adanya tata nilai ruang yang hierarkis. Ruang Panampik Kecil tempat bagi anak-anak, ruang Panampik Tangah sebagai tempat orang-orang biasa atau para pemuda dan yang paling utama adalah ruang Panampik Basar yang diperuntukkan untuk tokoh-tokoh masyarakat, hanya orang yang berpengetahuan luas dan terpandang saja yang berani duduk di area tersebut. Hal ini menunjukkan adanya suatu tatakrama sekaligus mencerminkan adanya pelapisan sosial masyarakat Banjar tempo dulu yang terdiri dari lapisan atas adalah golongan berdarah biru disebut Tutus Raja (bangsawan) dan lapisan bawah adalah golongan Jaba (rakyat) serta diantara keduanya adalah golongan rakyat biasa yang telah mendapatkan jabatan-jabatan dalam Kerajaan beserta kaum hartawan.

Tawing Halat/Seketeng

Ruang dalam rumah Banjar Bubungan Tinggi terbagi menjadi ruang yang bersifat private dan semi private. Diantara ruang Panampik Basar yang bersifat semi private dengan ruang Palidangan yang bersifat private dipisahkan oleh Tawing Halat artinya "dinding pemisah", kalau di daerah Jawa disebut Seketeng. Jika ada selamatan maupun menyampir (nanggap) Wayang Kulit Banjar maka pada Tawing Halat ini bagian tengahnya dapat dibuka sehingga seolah-olah suatu garis pemisah transparan antara dua dunia (luar dan dalam) menjadi terbuka. Ketika dilaksanakan "wayang sampir" maka Tawing Halat yang menjadi pembatas antara "dalam" (Palidangan) dan luar (Paluaran/Panampik Basar) menjadi terbuka. Raja dan keluarganya serta dalang berada pada area "dalam" menyaksikan anak wayang dalam wujud aslinya sedangkan para penonton berada di area "luar" menyaksikan wayang dalam bentuk bayang-bayang.

Denah Cacak Burung
Denah Rumah Banjar Bubungan Tinggi berbentuk "tanda tambah" yang merupakan perpotongan dari poros-poros bangunan yaitu dari arah muka ke belakang dan dari arah kanan ke kiri yang membentuk pola denah Cacak Burung yang sakral. Di tengah-tengahnya tepat berada di bawah konstruksi rangka Sangga Ribut di bawah atap Bubungan Tinggi adalah Ruang Palidangan yang merupakan titik perpotongan poros-poros tersebut. Secara kosmologis maka disinilah bagian paling utama dari Rumah Banjar Bubungan Tinggi. Begitu pentingnya bagian ini cukup diwakili dengan penampilan Tawing Halat (dinding tengah) yang penuh ukiran-ukiran (Pohon Hayat) yang subur makmur. Tawing Halat menjadi fokus perhatian dan menjadi area yang terhormat. Tawang Halat melindungi area "dalam" yang merupakan titik pusat bangunan yaitu ruang Palidangan (Panampik Panangah).

explore pendulangan intan


Intan di Martapura sebenarnya datang dari Cempaka. Sekitar setengah jam dari Martapura. Cempaka termasuk salahsatu kecamatan dari kabupaten Banjarbaru. Saya mencoba melihat secara dekat pendulangan intan ini. Ada yang menggunakan mesin penyedot, mesin penyemprot air - menghancurkan tanah dan bebatuan – hingga pendulangan tradisional. Hanya dibantu dengan alat berupa linggis dan ember.

Banyak tanah yang menganga. Sisanya menyerupai danau. Air keruh berwarna coklat. Bunyi mesin penyedot dan penyemprot air menderu. Pendulang mengayak tanah. Memperbaiki saluran air. Mewaspadai agar tanah di atasnya tak roboh. Dan mengubur hidup mereka seperti Juli silam. Dua orang pendulang mati.

Awan gelap menggelayut di atas langit. Petir menerjang bumi. Rintik hujan turun. Para pendulang bertahan. Dan tak sembunyi dari hujan. Angin kencang segera mengusir hujan. Pendulang terus bekerja hingga sore hari.

Di antara mesin penyedot air yang menjerit, pendulang perempuan terus mengumpulkan lumpur dari sebuah sumur. Bentuknya bujur sangkar. Luasnya sekitar dua meter persegi. Batang kayu menahan agar dinding sumur tak ambruk. Dalam dinding terdapat tangga. Kedalaman sumur ini sekitar enam meter.

Perempuan ini berdiri di setiap tangga yang licin itu. Membantu menarik ember. Isinya air kecoklatan dan lumpur. Cipratan dari ember membuat wajah dan badannya penuh lumpur. Sesekali mereka membasuh wajahnya agar bersih dari lumpur itu. Seorang perempuan, usianya sekitar 40 tahun lebih, bertelanjang kaki tetap memoles bibirnya agar terlihat cantik. Warna merah melapisi bibirnya.

“Tergantung dari lumpur itu. Nanti kami cari,” kata Mohammad Ali, 61 tahun. Ia memimpin pendulangan intan. Perempuan-perempuan itu adalah pekerjanya. Ia membakar beberapa rokok kretek. Menyelipkan pada jepitan kayu. Dan kemudian mengirimkannya ke dalam sumur yang gelap dan dingin itu.

Ali seorang pendulang. 40 tahun hidupnya melakukan penambangan. Di Papua ia mencari emas. Begitu juga di Timor-timur, Poso hingga Cikotok di Jawa Barat – Kini Provinsi Banten - .

Di usianya yang menjelang sepuh, ia menghabiskan waktunya mendulang di tempat kelahirannya sendiri. Dengan ratusan pendulang lainnya. Baik yang mendulang menggunakan bantuan mesin maupun tradisional seperti dirinya.

“Saya tidak mau seperti mereka. Menambang menggunakan mesin. Bahaya sekali. Kalau tanahnya rontok pasti ada yang meninggal,” katanya. Telunjuk jarinya menunjuk pada beberapa kelompok pendulang yang bekerja di bawah tebing tanah. Saluran pipa air tampak seperti akar-akar pohon yang menjuntai. Matanya tajam. Sesekali tersenyum.

Ia merasa pendulangan secara tradisional cukup aman. Tak banyak kecelakaan yang terjadi. Padahal pendulang dengan tehnik ini mengharuskan mereka seperti seekor tikus tanah. Membuat lubang secara vertikal dan kemudian menggali tanah secara horisontal. Mengikuti nalurinya dan berharap segera menemukan sebuah keajaiban. Sebilah linggis memahat tanah dan bebatuan. Hingga menemukan sebuah batu yang bernama intan.

Tapi lima bulan lewat pendulangan belum membuahkan hasil. Ali dan pekerjanya tak menyerah. Walau tiap harinya ia mengeluarkan uang sebesar 120 ribu rupiah untuk membiayai pendulangan. Makan, minum, kopi dan rokok. Ia menjual barang apa yang sudah dimilikinya. Meminjam uang dari saudaranya.

Di tanah yang sama ia memiliki kejayaan. Ia menemukan intan. Nilai taksirannya 50 hingga 150 juta rupiah. Pekerjanya bisa mengantongi uang hingga 4,5 juta rupiah. Dan sisanya untuk membayar upah pada pemilik tanah. Menutupi hutang selama proses pendulangan.

“Penghasilan tidak bisa diprediksi. Ini benda awam,” katanya. Seperti hendak memompa semangatnya agar tidak luntur oleh waktu. Namun, kesulitan hidup membuat salahsatu pekerjanya juga terjerat hutang. Tapi dia enggan menjelaskannya. Khosiah, perempuan itu, hanya menjelaskan pekerjaan sebagai pendulang tidak ada pilihan. 20 tahun ia menjalani sebagai pendulang. Suaminya menjual intan dan batu akik ke pasar di Martapura.

Tak jarang ia juga turun untuk menggali tanah. Mesin kipas angin berukuran kecil tak cukup untuk memompa oksigen ke dalam sumur. Ia mesti segera naik dan menghirup udara segar. Tenaga kipas angin ini berasal dari sebuah accu kering. Dan terhubung melalui pipa berwarna putih. “Sesak nafas,” katanya.

“Anak saya juga menjadi pendulang. Tidak sekolah lagi. Kalau dapat intan, ya ada modal,” kata Ali. Ia memiliki anak sebanyak 10 orang. Ia juga tak mengerti mengapa pemerintah menerapkan biaya sekolah begitu tinggi. Dan menyebabkan anaknya tidak bisa melanjutkan sekolah.

Pendulang ini bekerja dalam ketidakpastian. Mereka berharap dari peluh keringatnya segera menemukan keajaiban itu. Sebutir intan yang bisa memberikan senyuman dan kebahagiaan. Untuk melunasi hutang piutang dan mengembalikan barang yang hilang. Bagi pendulang, setiap jengkal penggalian adalah sebuah mimpi. Mimpi untuk melanjutkan hidup pada hari esok. Seperti si pemasang iklan itu yang hendak menjual intan warisan nenek moyangnya. Untuk membeli sebuah mimpi baru