Minggu, 25 Juli 2010

Loksado dan Masyarakat Adatnya





Loksado dan Masyarakat Adatnya

Sebagai kawasan yang cukup luas Pegunungan Meratus dihuni oleh beberapa komunitas adat yang sering disebut Masyarakat Adat Dayak Meratus. Dayak Meratus telah mendiami kawasan Pegunungan Meratus ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu (Tjilik Riwut dalam NH. Raddam, 1987) yang memukimi sepanjang sungai-sungai pegunungan. Umumnya mereka berdiam dalam kelompok-kelompok kecil yang disebut “balai” . Di Pegunungan Meratus tidak diketahui jumlah pasti dari balai-balai yang ada. Harian Kompas mengambil angka 300 untuk jumlah minimal balai, ada pula yang menyebutkan tidak kurang dari 700 buah.

Salah satu balai yang terdapat di Pegunungan Meratus adalah Balai Malaris. Balai Malaris merupakan salah satu balai yang secara administratif pemerintahan termasuk kedalam Desa Loklahung Kecamatan Loksado Kabupaten HSS. 100 % penduduknya beragama Kaharingan dan seluruhnya merupakan penduduk asli desa tersebut. Jumlah penduduk di kampung ini adalah 163 jiwa atau 24 tandun .

Nama kampung atau balai Malaris ini diambil dari nama seorang leluhur (datu) mereka yakni Dung Malaris (seorang perempuan) yang hidup pada zaman kerajaan Banjar, pada saat itu beliau merupakan salah seorang penegak (petinggi) dari kerajaan. Dung Malaris menurut sejarah yang berkembang dimasyarakat diketahui beliau tidak mempunyai suami, namun mempunyai saudara (kakak) bernama Nini Mangkuraksa. Beliau berpesan apabila suatu saat nanti mati maka beliau meminta dikuburkan ditengah-tengah kampung ini (Pohon besar di Muara sungai Wani-Wani) dan sekarang tempat tersebut dikeramatkan oleh masyarakat Malaris. Setelah Dung Malaris wafat, maka posisi beliau digantikan oleh Nini Datu Marhaban. Kemudian dilanjutkan lagi oleh Nini Maniranjung sampai akhirnya kepemimpinan wilayah diserahkan kepada Nini Ma’andun. Pada saat kepemimpinan Nini Ma’andun ini, terjadilah perubahan struktur pemerintahan yang cukup besar baik ditingkat masyarakat adat Dayak sampai ditingkat kerajaan Banjar, yang disebabkan karena adanya invasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda telah sampai ke tanah Borneo dan menaklukan beberapa kerajaan dan salah satunya adalah kerajaan Banjar.

Tidak berbeda dengan masyarakat Dayak lainnya yang hidup di bantaran pegunungan Meratus, mata pencaharian utama masyarakat Malaris adalah bercocok tanam padi (Bahuma). Selain itu, juga ditanam tanaman perkebunan dibekas peladangan mereka, tanaman perkebunan tersebut antara lain kayu manis, karet (gatah) dan keminting/kemiri yang keseluruhan hasilnya dapat mereka jadikan sebagai sumber pendapatan utama dalam bentuk uang tunai.

Sumber pendapatan masyarakat Malaris lainnya adalah memanfaatkan hasil hutan non kayu (Non Timber Forest Product) seperti walatung/manau, rotan/paikat, damar, madu dan lain-lain. Untuk memanfaatkan waktu luang di malam hari, biasanya kaum wanita atau ibu-ibu serta kaum pria yang sudah lanjut usia mengisinya dengan membuat berbagai macam anyaman atau kerajinan dari bambu, bentuk kerajinan ini berupa tikar, lanjung, bakul, butah, tengkiring dan lain-lain. Hasilnya sebagian untuk keperluan sendiri dan sebagian lagi akan dijual apabila ada turis atau pengunjung dari luar yang datang ketempat mereka dan ingin membeli kerajinan tersebut.

Dalam kehidupan masyarakat dayak Malaris juga terdapat suatu pemerintahan berupa lembaga / institusi adat, yang mana berfungsi untuk mengatur hubungan – hubungan sosial kemasyarakatan baik intern maupun dengan wilayah lain. Institusi adat ini pada dasarnya sudah ada jauh sebelum terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia. Adapun struktur pemerintahannya pada waktu itu secara hiraskis adalah Pamangku, Patinggi, Damang, Pangiwa dan Panganan, Penghulu Adat, dan Masyarakat.

Namun dalam perkembangan selanjutnya setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, keberadaan kelembagaan adat tersebut sedikit demi sedikit mulai dihilangkan. Sampai akhirnya dalam struktur kelembagaan adat tersebut yang tersisa hanyalah Damang, Wakil Damang, Penghulu Balai, Kepala Padang dan Masyarakat. Damang beserta pemangkunya dengan susunan seperti di atas ada sejak sekitar tahun 1970-an. Adapun jumlah balai hingga saat ini sebanyak 46 balai yang tersebar dikawasan Pegunungan Meratus wilayah administrasi Kab. HSS dan Tapin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar